Upaya keras berbagai panitia seleksi guna mencari anggota
komisi-komisi atau lembaga negara yang memiliki integritas pribadi yang
antikorupsi, bersih, dan jujur di masa mendatang tampaknya akan semakin
sulit membuahkan hasil gemilang. Setelah beberapa kali upaya pencarian
calon semacam itu dilakukan, telah muncul pola atau kecenderungan
sebagai berikut.
Pertama, terdapat beberapa nama yang aktif melamar guna menjadi calon
di berbagai kesempatan mengindikasikan tipisnya lapisan menengah di
Indonesia yang berani jual diri menyangkut integritas kepribadian dan
track record bersih serta jujur.
Kedua, yang banyak melamar adalah karyawan atau pejabat yang hampir
atau telah pensiun. Bisa diduga, motivasi mereka adalah untuk
memperpanjang aktivitas setelah purna dari pekerjaan yang lama. Bisa
diduga pula, yang mereka tawarkan adalah profesionalisme dalam rangka
bekerja; hal mana tidak selalu sejalan dengan kepribadian yang
antikorupsi, bersih, serta jujur.
Ketiga, katakanlah mendaftar, maka cukup banyak yang bermodalkan
self-acclamation (pernyataan diri sepihak) terkait dengan siapa dirinya
serta bagaimana kepribadiannya. Pelamar dari tipe ini akan bertumbangan
saat panitia melakukan verifikasi tentang siapa mereka sebenarnya.
Keempat, mereka yang ditengarai memiliki integritas tinggi, bersih,
serta jujur malah tidak ada atau sedikit yang mencoba melamar. Selain
khawatir dipecundangi melalui sistem seleksi yang kotor, orang seperti
ini memang tidak pernah kurang kerjaan. Di mana-mana membutuhkan orang
langka tersebut, tidak hanya komisi atau lembaga negara saja.
Sistem integritas
Itulah yang terjadi ketika kita sebagai masyarakat tidak mempersiapkan lahir dan besarnya orang-orang dengan kepribadian yang berintegritas tinggi guna menyatakan tidak pada korupsi, bersih serta jujur secara sistematis dan massal. Sebaliknya, terkesan bahwa kita semua meyakini orang-orang dengan ciri demikian memang ditakdirkan langka, yang banyak adalah orang dengan ciri sebaliknya.
Itulah yang terjadi ketika kita sebagai masyarakat tidak mempersiapkan lahir dan besarnya orang-orang dengan kepribadian yang berintegritas tinggi guna menyatakan tidak pada korupsi, bersih serta jujur secara sistematis dan massal. Sebaliknya, terkesan bahwa kita semua meyakini orang-orang dengan ciri demikian memang ditakdirkan langka, yang banyak adalah orang dengan ciri sebaliknya.
Itulah yang diperkirakan terjadi dalam masyarakat yang memang
telanjur kuat budaya korupnya. Kuat sekali dorongan untuk menjadi
me-too-corrupt alias saya tak beda dengan yang lain dalam hal perilaku
korupsi mengingat korupsi dilakukan oleh semua. Sebaliknya, kecil sekali
tarikan atau kekangan untuk menjadi berbeda atau tidak melakukan
korupsi melalui sistem yang dikenal dengan sebutan sistem integritas
(integrity system). Alhasil, yang berani berkata tidak pada korupsi
menjadi orang langka.
Singkatnya, orang yang bersih dan jujur bukan ditemukan seperti kuda
liar, tetapi dibiakkan dan dirawat dalam suatu sistem yang mendorong
hal-hal itu untuk tumbuh. Tidak hanya tumbuh dengan sendirinya, tetapi
juga karena dipupuk sehingga tumbuh dengan lebat. Jika kita percaya
bahwa masyarakat pada dasarnya adalah sama, yang berbeda adalah
sistemnya, maka sistem integritas itulah yang paling menentukan siapa
dan bagaimana dia di kemudian hari.
Apabila dikatakan sistem integritas antikorupsi, pada dasarnya kita
tidak menunjuk sistem yang khusus melainkan berbagai sistem yang telah
ada, seperti sistem politik, sistem hukum, sistem pendidikan, dan
seterusnya. Hanya satu bedanya, yakni bahwa sistem-sistem tadi semuanya
sama-sama menuntut integritas dalam rangka menjalankannya, yakni
integritas untuk menjauhi korupsi.
Sistem pendidikan
Dari berbagai sistem yang semuanya perlu digerakkan dengan sifat integritas itu, sistem pendidikan memiliki peran terpenting dibandingkan dengan yang lain. Jika sistem-sistem lain menyentuh atau disentuh orang per orang pada saat dewasa, sistem pendidikan memengaruhi seseorang sejak berusia belia. Apabila kandungan integritas antikorupsi telah terdapat secara intens dalam sistem pendidikan, niscaya akan menular pada subyek didik dan bertahan selama hidupnya.
Dari berbagai sistem yang semuanya perlu digerakkan dengan sifat integritas itu, sistem pendidikan memiliki peran terpenting dibandingkan dengan yang lain. Jika sistem-sistem lain menyentuh atau disentuh orang per orang pada saat dewasa, sistem pendidikan memengaruhi seseorang sejak berusia belia. Apabila kandungan integritas antikorupsi telah terdapat secara intens dalam sistem pendidikan, niscaya akan menular pada subyek didik dan bertahan selama hidupnya.
Masalahnya, hal-hal yang tidak sejalan dengan nilai integritas
antikorupsi tadi masih kerap terlihat dalam sistem pendidikan kita. Ada
siswa yang tidak naik kelas dan bisa naik kelas dengan pindah sekolah.
Ada pula siswa yang mendapat bocoran nilai ujian akhir nasional secara
sengaja dari guru mereka sendiri. Ada siswa yang membuat keonaran malah
dipuji. Ada guru yang minta uang dari muridnya, dan sebagainya.
Jadi, bibit berbuat korupsi, tidak bersih dan tidak jujur itu telah
diketahui dan mungkin tertanam pada diri seorang anak saat baru pertama
kali disentuh oleh sistem modern bernama sistem pendidikan. Kita bisa
bayangkan apa yang terjadi saat yang bersangkutan selanjutnya
bersentuhan dengan sistem-sistem lain yang lebih kerap, lebih vulgar,
serta lebih intens perbuatan koruptifnya.
Terkait strategisnya sistem pendidikan ini, mungkin kita semua bisa
fokus dan habis-habisan mencegah terkontaminasinya sistem pendidikan
dari berbagai hal yang dapat mengurangi nilai-nilai integritas
antikorupsi di dalamnya. Dan, mengingat terdapat ketidakseimbangan
antara berbagai pihak yang berperan dalam sistem tersebut (peserta didik
yang berjumlah terbanyak selalu berada pada posisi lebih lemah, pasif,
dan tergantung dibanding, misalnya, pihak sekolah), maka kemauan dan
peran guru, sekolah, jajaran kantor wilayah serta departemen akan amat
menentukan mutu keluaran dari sistem pendidikan tersebut.
Di sinilah pentingnya memerhatikan kesejahteraan para guru,
meningkatkan pengetahuan guru, melengkapi fasilitas belajar-mengajar di
sekolah, membersihkan perekrutan guru atau siswa dari praktik KKN,
memosisikan peran UAN secara tepat, meniadakan budaya patrimonial bagi
guru yang akan menjadi kepala sekolah, dan lain-lain. Itulah bibit-bibit
penggerus nilai-nilai integritas antikorupsi yang sedianya akan
ditransformasikan kepada anak didik melalui perilaku langsung ataupun
ajaran.
Pendidikan tinggi
Ada hal menarik saat melihat bagaimana kita semua memandang seseorang yang dikatakan memiliki integritas kepribadian tinggi, bersih dan jujur. Hampir semua kalangan melihatnya dari sudut apa yang dilakukan seseorang pascamenempuh pendidikan formal, entah itu pendidikan menengah ataupun pendidikan tinggi.
Ada hal menarik saat melihat bagaimana kita semua memandang seseorang yang dikatakan memiliki integritas kepribadian tinggi, bersih dan jujur. Hampir semua kalangan melihatnya dari sudut apa yang dilakukan seseorang pascamenempuh pendidikan formal, entah itu pendidikan menengah ataupun pendidikan tinggi.
Kita cenderung terkonsentrasi melihat track seseorang dari sudut
riwayat pekerjaannya, apa saja posisi dan jabatannya, apa prestasi yang
dihasilkannya, bagaimana ia memperoleh kekayaan selama periode itu serta
bagaimana catatan tentang kelakuannya. Sebaliknya, data tentang
seseorang pada saat duduk di bangku sekolah dasar hingga menempuh
pendidikan tinggi umumnya tidak diketahui. Minimal, seolah dianggap
tidak penting. Padahal, pada saat itulah tengah dibuat baseline yang
akan menentukan apakah seseorang akan benar-benar menjadi orang yang
berintegritas tinggi, bersih dan jujur.
Dalam konteks itulah, fase seseorang yang sudah berada di tingkat
pendidikan tinggi menjadi penting dan strategis. Itulah fase terakhir
sebelum seseorang di-pelototi (atau di-scrutinize) riwayat hidupnya jika
yang bersangkutan mau menjadi pejabat publik di komisi atau lembaga
negara tertentu. Tidak pernah kita dengar, misalnya, skandal atau
perbuatan curang yang dilakukan seorang pejabat saat masih mahasiswa.
Masa mahasiswa pada umumnya tidak dipersepsikan sebagai memberi
kesempatan besar bagi mahasiswa untuk terlibat dalam suatu hal yang
kotor.
Berbeda situasinya ketika telah lulus. Seorang sarjana harus
terus-menerus, mau tak mau, menata gerak langkah, jangan sampai
terjeblos pada penyakit masyarakat tertentu, khususnya apabila
berkeinginan menjadi pejabat publik di suatu waktu kelak.
Seiring dengan persepsi tentang fase perguruan tinggi yang steril
dari kemungkinan korupsi, para mahasiswa juga kerap kurang menyadari
betapa strategisnya kehidupan di perguruan tinggi dalam konteks
keseluruhan hidup mereka sendiri. Sebagai fase terakhir dari fase
panjang kehidupan seseorang terkait sistem pendidikan, itulah kesempatan
terakhir untuk berlatih hidup bersih, hidup jujur, dan membiasakan
hidup secara berintegritas. Pada saat telah memasuki dunia kerja, dunia
profesi atau karier, kesempatan latihan tadi akan mengecil, kalau tidak
mau dibilang tidak ada.
Setiap mahasiswa seyogianya melihat kesempatan belajar bebas ala
orang dewasa (adult education) yang diterapkan di pendidikan tinggi
sebagai sarana melatih kejujuran (tidak plagiat), melatih hidup bersih
(tidak mencuri data orang lain), dan mengasah nilai integritas
antikorupsi dalam diri sendiri (dengan tidak memanfaatkan hubungan
dengan dosen atau dengan cara-cara lain).
Hal-hal itu akan menjadi modal besar guna tidak terbawa arus dan
menjadi sama dengan orang lain, terkait budaya korupsi di masyarakat.