1.Ketua Forum Redam Korupsi (FORK) – Cabang Lampung
2.
Ketua Forum Pembelaan Ibu dan Anak– Cabang Lampung
3.Koordinator Konsultasi Hukum bagi Rakyat-Cabang Lampung

Jumat, 29 November 2013

PERLINDUNGAN SOSIAL ANAK DAN MASALAHNYA

Anak sebagaimana diketahui adalah harapan masa depan yang akan menggantikan orang tua, menjadi pemimpin di masyarakat baik dalam unit terkecil seperti keluarga maupun dalam unit terbesar seperti negara/bangsa. Karena anak adalah harapan masa depan, wajar bila mereka mendapat perhatian dan hak-haknya ditegakkan. Jika hal itu tidak mereka peroleh jangan diharap mereka akan menjadi generasi masa depan yang baik. Untuk itulah masalah hak-hak anak seyogyanya mendapat perhatian agar tidak seenaknya dilanggar terutama oleh orang dewasa baik orang tua sendiri maupun orang dewasa lainnya.
Jumlah anak Indonesia (0-18 tahun) menurut Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2006 mencapai 79,8 juta anak. Mereka yang masuk kategori telantar dan hampir telantar mencapai 17,6 juta atau 22,14 persen.
Di antara masalah sosial anak yang terus hangat dibicarakan adalah soal anak jalanan. Data dari Kementerian Sosial menunjukkan jumlah anak jalanan yang pada tahun 1997 masih sekitar 36.000 anak, sekarang menjadi sekitar 232.894 anak.
Penting diketahui, anak jalanan seperti anak – anak normal lainnya berhak mendapat kesejahteraan dan perlindungan yang diatur oleh undang-undang.
Pada UU No.4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak disebutkan: (1) Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarganya maupun di dalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar, (2) Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya sesuai dengan kebudayaan dan kepribadian bangsa untuk menjadi warganegara yang baik dan berguna, (3) Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan, (4) Anak berhak atas perlindungan-perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar.
Pada UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak lebih terinci lagi diatur tentang hak anak, yaitu pada Bab III mulai dari pasal 4 hingga 18. Pasal 16 sekedar diketahui berbunyi: (1) Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi, (2) Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum, (3) Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesui dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir. Bagaimana dengan kewajiban dan tanggung jawab negara ? Pada UU No.23 Tahun 2002 di atas, dirinci 4 (empat) pasal mengenai hal tersebut, yaitu pasal 21 sampai 24. Pasal 22 misalnya berbunyi: Negara dan pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab memberikan dukungan sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan perlindungan anak.
Sekedar mengingatkan, Nelson Mandela ketika menjabat sebagai Sekjen PBB, seperti dikutip Ahmad Sofian Ketua Badan Pengurus Pusat Kajian dan Perlindungan Anak, pernah berkata ”sebuah negara dikatakan beradab jika punya perhatian yang sungguh-sungguh terhadap masa depan anaknya dan anak terbebas dari segala bentuk situasi sulit” (Kompas, 23 Januari 2010)
Menurut Ahmad, jika kata-kata ini dikaitkan catatan komite hak anak PBB terhadap laporan periodik Pemerintah Indonesia terkait dengan pelaksanaan Konvensi Hak Anak, kita sedikit miris. Karena ada satu catatan yang sangat diplomatis yang patut kita renungkan: ”Pemerintah Indonesia telah memiliki komitmen untuk mengatasi persoalan anak, tetapi komitmen tersebut tidak sungguh-sungguh dilaksanakan.
Jika faktanya seperti itu, renungan Gabriela Mistral Pemenang Nobel Sastra 1945 sebagaimana diangkat Taufik Ismail (Sastrawan) perlu di dengar: ”We are guilty of many errors and faults, but our worst crime is abandoning our children, neglecting the fountain of life. Many of the things we need can wait. The child can not. Right now is the time his bones are being formed, his blood is being made and his senses are being developed. To him we cannot answer “Tomorrow”. His name is “Today”. “Banyak kekhilafan dan kesalahan yang kita perbuat. Namun kejahatan kita yang paling nista adalah kejahatan mengabaikan anak-anak kita, melalaikan mata air hayat kita. Kita bisa tunda berbagai kebutuhan kita. Kebutuhan anak kita, tak bisa ditunda. Pada saat ini tulang belulangnya sedang dibentuk, darahnya dibuat dan susunan sarafnya tengah disusun. Kepadanya kita tak bisa berkata ”Esok”. Namanya adalah ”Kini”.