Anak sebagaimana diketahui adalah harapan masa depan
yang akan menggantikan orang tua, menjadi pemimpin di masyarakat baik dalam
unit terkecil seperti keluarga maupun dalam unit terbesar seperti
negara/bangsa. Karena anak adalah harapan masa depan, wajar bila mereka
mendapat perhatian dan hak-haknya ditegakkan. Jika hal itu tidak mereka peroleh
jangan diharap mereka akan menjadi generasi masa depan yang baik. Untuk itulah
masalah hak-hak anak seyogyanya mendapat perhatian agar tidak seenaknya
dilanggar terutama oleh orang dewasa baik orang tua sendiri maupun orang dewasa
lainnya.
Jumlah anak Indonesia (0-18 tahun) menurut Badan Pusat
Statistik (BPS) pada tahun 2006 mencapai 79,8 juta anak. Mereka yang masuk
kategori telantar dan hampir telantar mencapai 17,6 juta atau 22,14 persen.
Di antara masalah sosial anak yang terus hangat
dibicarakan adalah soal anak jalanan. Data dari Kementerian Sosial menunjukkan
jumlah anak jalanan yang pada tahun 1997 masih sekitar 36.000 anak, sekarang
menjadi sekitar 232.894 anak.
Penting diketahui, anak jalanan seperti anak – anak
normal lainnya berhak mendapat kesejahteraan dan perlindungan yang diatur oleh
undang-undang.
Pada UU No.4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak
disebutkan: (1) Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan
berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarganya maupun di dalam asuhan khusus
untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar, (2) Anak berhak atas pelayanan untuk
mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya sesuai dengan kebudayaan dan
kepribadian bangsa untuk menjadi warganegara yang baik dan berguna, (3) Anak
berhak atas pemeliharaan dan perlindungan baik semasa dalam kandungan maupun
sesudah dilahirkan, (4) Anak berhak atas perlindungan-perlindungan terhadap
lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan
perkembangannya dengan wajar.
Pada UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
lebih terinci lagi diatur tentang hak anak, yaitu pada Bab III mulai dari pasal
4 hingga 18. Pasal 16 sekedar diketahui berbunyi: (1) Setiap anak berhak
memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan
hukuman yang tidak manusiawi, (2) Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan
sesuai dengan hukum, (3) Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara
anak hanya dilakukan apabila sesui dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat
dilakukan sebagai upaya terakhir. Bagaimana dengan kewajiban dan tanggung jawab
negara ? Pada UU No.23 Tahun 2002 di atas, dirinci 4 (empat) pasal mengenai hal
tersebut, yaitu pasal 21 sampai 24. Pasal 22 misalnya berbunyi: Negara dan
pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab memberikan dukungan sarana dan
prasarana dalam penyelenggaraan perlindungan anak.
Sekedar mengingatkan, Nelson Mandela ketika menjabat
sebagai Sekjen PBB, seperti dikutip Ahmad Sofian Ketua Badan Pengurus Pusat
Kajian dan Perlindungan Anak, pernah berkata ”sebuah negara dikatakan beradab
jika punya perhatian yang sungguh-sungguh terhadap masa depan anaknya dan anak
terbebas dari segala bentuk situasi sulit” (Kompas, 23 Januari 2010)
Menurut Ahmad, jika kata-kata ini dikaitkan catatan
komite hak anak PBB terhadap laporan periodik Pemerintah Indonesia terkait
dengan pelaksanaan Konvensi Hak Anak, kita sedikit miris. Karena ada satu
catatan yang sangat diplomatis yang patut kita renungkan: ”Pemerintah Indonesia
telah memiliki komitmen untuk mengatasi persoalan anak, tetapi komitmen
tersebut tidak sungguh-sungguh dilaksanakan.
Jika faktanya seperti itu, renungan Gabriela Mistral
Pemenang Nobel Sastra 1945 sebagaimana diangkat Taufik Ismail (Sastrawan) perlu
di dengar: ”We are guilty of many errors and faults, but our worst crime is
abandoning our children, neglecting the fountain of life. Many of the things we
need can wait. The child can not. Right now is the time his bones are being
formed, his blood is being made and his senses are being developed. To him we
cannot answer “Tomorrow”. His name is “Today”. “Banyak kekhilafan dan kesalahan
yang kita perbuat. Namun kejahatan kita yang paling nista adalah kejahatan
mengabaikan anak-anak kita, melalaikan mata air hayat kita. Kita bisa tunda
berbagai kebutuhan kita. Kebutuhan anak kita, tak bisa ditunda. Pada saat ini
tulang belulangnya sedang dibentuk, darahnya dibuat dan susunan sarafnya tengah
disusun. Kepadanya kita tak bisa berkata ”Esok”. Namanya adalah ”Kini”.