Lima
belas tahun usia reformasi, beragam capaian telah diraih oleh bangsa
Indonesia, untuk menempatkan dirinya sebagai negara yang bermartabat,
demokratis, dan memberikan penghormatan terhadap hak asasi manusia.
Namun, sejumlah persoalan masa lalu, khususnya yang terkait dengan
praktik pelanggaran HAM sampai sekarang belum terselesaikan dan tidak
ada keadilan bagi korban, termasuk kompensasi, restitusi dan
rehabilitasi. Situasi ini tentunya akan terus menjadi ganjalan sejarah
bagi perkembangan dan kemajuan bangsa ini ke depan, rangkaian kejahatan
tersebut akan terus menjadi noda hitam sejarah, tanpa adanya suatu
penyelesaian yang tuntas.
Pelanggaran
HAM berat lainnya terus berlangsung, baik dibawah rezim soeharto
diantaranya adalah Penembakan Misterius (1982-1983), Tragedi
Tanjungpriok (1984), Tragedi Talangsari (Lampung, 1989), Daerah Operasi
Militer (DOM) Aceh (1976-2005), Tragedi peristiwa Dili (Santa Cruz)
(1991), DOM Papua (1969-2001), Pembunuhan Marsinah (1993), Penyerbuan di
Haurkoneng (1993), Tragedi 27 Juli (1996), Penghilangan paksa dan
penculikan aktivis pro demokrasi (1997-998), maupun dalam masa transisi
politik setelah kejatuhan Soeharto masih diselimuti dengan pelanggaran
HAM lainnya seperti kasus Tragedi Trisaksi-Semanggi I dan II (TSS)
(1998-1999), Tragedi Mei (1998), Pembumi-hangusan Timor-Timur pasca
jajak pendapat (1999), Kasus Abepura (2000), dan Kasus Wasior-Wamena
(2001-2003), pembunuhan Munir (2004) dan kasus konflik sosial-horizontal
sesama warga negara, baik berprespektif agama (kasus Ahmadiyah, kasus
Syiah, dan GKI Yasmin), etnik (kerusuhan dayak vs madura), dan kelompok
rentan (perempuan dan anak), dimana negara seringkali lalai dan bahkan
melakukan pembiaran (by omission) terhadap keberlangsungan pelanggaran HAM tersebut.
Negara memiliki kewajiban (state obligation) kepada warganya untuk menghormati (to respect), melindungi (to protect) dan memenuhi (to fullfil)
hak asasi setiap warganya. Dalam sejarah pemerintahan Orde Baru kondisi
hak asasi manusia (HAM) sangat diabaikan bahkan kekuasaannya dibangun
diatas pondasi pembunuhan massal (mass killing) terhadap
lawan-lawan politiknya dalam kasus tragedi kemanusiaan 1965-1966. jutaan
manusia kehilangan nyawa, penahanan tanpa proses peradilan, dan
stigmatisasi yang menyebabkan anak keturunan mereka yang dicap “PKI”
kehilangan hak-hak sipil politik maupun ekonomi, sosisal dan budaya.
Bahkan demi mempertahankan kekuasaan telah terjadi pelbagai pelanggaran
HAM berat sebagaimana hasil penyidikan Komnas HAM. Eksploitasi,
despotisme, deparpolisasi, dan deideologisasi merupakan rangkaian
kebijakan untuk melanggengkan kekuasaan dengan dukungan militer sebagai
Instrumen refresifnya.
Dalam
transisi politik, pemerintahan Presiden BJ. Habibie bertahan sekitar 17
bulan, tetapi kebijakannya dalam bidang reformasi politik dan hukum
dianggap responsif-akomodatif. Ketetapan
MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, menjadi komitmen
bersama tentang pentingnya penghormatan terhadap HAM, dan dalam rangka
menjalankan mandat ketetapan MPR tersebut, kemudian lahir UU No. 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang mengatur jaminan perlindungan
HAM bagi segenap warga negara, serta program ratifikasi instrumen internasional HAM.
Selain
itu, secara mengejutkan Presiden Habibie memutuskan referendum untuk
menentukan nasib dan masa depan Timor Timur yang terus menerus menjadi
sorotan dunia Internasional. Hasil jajak pendapat itu menimbulkan dugaan
pelanggaran HAM berat. Melalui resolusi komisi tinggi PBB tahun 1999
dibentuk International Commission of Inquiry on East Timor (ICIET),
untuk melakukan penyelidikan atas kemungkinan adanya pelanggaran HAM
dan pelanggaran hukum humaniter internasional di Timor Timur. Laporan
komisi memperlihatkan; a). Ada bukti-bukti pelanggaran atas hak-hak
asasi dan hukum humaniter internasional dan merekomendasikan perlunya
dibentuk mekanisme untuk meminta pertanggungjawaban pelaku diantaranya
melalui pembentukan tim penyelidik independen oleh PBB untuk melakukan
penyelidikan lebih lanjut; b). Membentuk tribunal di tingkat
internasional peristiwa Timor-Timur. Dua rekomendasi inilah yang sangat
mempengaruhi lahirnya resolusi Dewan Keamanan PBB No 1264 yang diadopsi
pada tanggal 15 September 1999 dalam sidangnya yang ke 4045. Dalam
resolusi ini Dewan Keamanan menyerukan agar dilakukan pertanggungjawaban
atas para pelaku.
Pemerintah
dan elit TNI kuatir atas rekomendasi pembentukan pengadilan
Internasional atas kasus Timor-Timur, maka segera dibuat Perppu No. 1
Tahun 1999 tentang Pengadilan HAM yang kemudian berubah menjadi UU No.
26 tahun 2000. Di era pemerintahan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
sebagai Presiden juga telah melakukan upaya langkah-langkah penegakan
HAM bahkan terbilang radikal dengan mencopot Jenderal Wiranto dari
jabatan Menko Polkam untuk mengurangi pengaruh militer dalam bidang
politik dan hukum. Penghormatan hak-hak sipil politik mengalami
perkembangan, setiap orang bebas bergerak dan menyampaikan pendapatnya
bahkan memprotes kebijakan presiden Gusdur sekalipun sesuatu yang
dianggap wajar dan bukan ancaman.
Transisi
politik itu menggambarkan terjadinya proses peralihan dari
otoritarianisme Orde Baru menuju sistem politik demokratis, terbuka dan
lebih menghormati Hak Asasi Manusia. Pengakuan agama Konghucu sebagai
salah satu agama resmi di Indonesia, penghapusan istilah Pribumi dan
Non-Pribumi karena dianggap diskriminatif terhadap warga Tionghoa,
pemisahan TNI dan Polri melalui TAP MPR No. VI/MPR/2000, serta
pembentukan pengadilan HAM ad-Hoc pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
(Keppres No. 53 Tahun 2001).
Langkah reformasi Gusdur tidak berjalan mulus, pelbagai tantangan menghadang. Kasus Buloggate dan Bruneigate
menjadi batu sandungan dan propaganda lawan-lawan politiknya.
Konfigurasi politik berubah, perlawanan koalisi besar Golkar, PDI-P dan
poros tengah –dulu parpol pengusung- ditambah kekuatan dan pengaruh elit
politik TNI/Polri yang memang kurang senang dengan Gusdur membuatnya
semakin terjepit. Interpelasi pertama dan kedua DPR meminta penjelasan
dan pertanggungjawaban Presiden tetapi diabaikan hingga MPR melengserkan
Gusdur melalui Sidang Istimewa pada 22 Juli 2001 sesuai dengan
mekanisme impeachment yang diatur dalam UUD 1945.
Kepemimpinan
Megawati Soekarnoputri sendiri disokong penuh oleh elit TNI/Polri dan
kekuatan politik parlemen yang bersifat pragmatis dan taktis, politik
tentara pun masih bercokol di parlemen kendatipun dari segi jumlah
semakin berkurang dan sesuai dengan konsensus setelah pencabutan dwi
fungsi ABRI, TNI/Polri paling lambat hengkang dari parlemen hingga
pemilu 2004. penegakan hukum, perlindungan dan peningkatan hak asasi
manusia terus dilakukan sebagai amanat reformasi, sekalipun tolak-tarik
kekuatan politik semakin nyata dengan lambannya arus reformasi penegakan
HAM.
Hambatan
rezim megawati mengemban amanat reformasi karena dikelilingi kelompok
kepentingan politik dan birokrasi sisa Orde Baru yang juga memiliki
agenda politik tersendiri. Jaminan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya
semakin menemui tantangan berat, bisnis TNI/Polri sebagai bagian dari
reformasi internal sampai sekarang tidak jelas ujung-pangkalnya, hak-hak
pekerja yang di PHK terabaikan, konflik etnis, agama dan konflik
bersenjata terjadi di pelbagai daerah mengakibatkan banyaknya kehilangan
nyawa, pekerjaan, rumah tinggal dan harta benda. Dalam situasi seperti
itu, kesinambungan kekuatan dan kepentingan yang bersumber dari politik
dan ekonomi Orde Baru tetap bertahan secara signifikan. Akibatnya,
transisi politik tidak akan mengikuti garis lurus dari otoriter ke
demokrasi, tetapi bisa bergerak ke arah yang berbeda dan bahkan dapat berbalik arah.
Hak
Asasi Manusia (HAM) sebagaimana diketahui bukan hanya bersifat kodrati
yang melekat pada diri setiap manusia tetapi juga manusia dikarunia akal
pikiran dan hati nurani. Tegasnya, bahwa hak asasi itu adalah hak yang
sudah melekat pada setiap manusia yang digolongkan juga sebagai hak-hak
alamiah (natural rights). Hak-hak alamiah ini antara lain hak
hidup dan hak atas pemenuhan kebutuhan hidup. Disini sering terjadi
salah pemahaman tentang konsepsi HAM dengan mengatakan ”HAM Polisi”,
”HAM tentara” dan lain-lain, karena HAM melekat pada diri manusia dan
bukan pada profesi seperti polisi atau tentara meskipun polisi dan
tentara itu adalah manusia. Polisi dan tentara adalah alat-alat koersif
(kekerasan) negara dan sub-sistem kelembagaan negara.
Kelemahan
konstitusi UUD 1945 (sebelum amandemen) juga turut mendukung penciptaan
pemerintahan yang otoriter karena atribusi kekuasaan eksekutif
terlampau besar sehingga tafsir konstitusi bersifat tunggal hanya
penguasa semata. Perlindungan
hak asasi manusia (HAM) menjadi agenda dan ikhtiar utama dari gerakan
reformasi yang menuntut amandemen UUD 1945 dan terus menerus mendorong
maju proses demokratisasi, dan pada sidang tahunan MPR tahun 2000
akhirnya memasukkan perlindungan HAM ke dalam Undang-Undang Dasar
sebaimana dimuat dalam BAB XA berisi 10 Pasal HAM, dari pasal 28A-28J.
Dalam
transisi politik menurut Rocky Gerung, sedikitnya ada dua indikator
yang harus dipenuhi dalam melindungi dan menjamin hak asasi manusia. Pertama,
Proses demokratisasi tercermin dalam pelembagaan politik seperti
pengaturan lembaga-lembaga negara yang lebih seimbang (Presiden, DPR,
MA, MK dan lain-lain), yang melindungi dan menjamin kebebasan politik
tanpa diskriminasi, serta adanya jaminan bagi kegiatan serikat buruh dan
petani dalam memperjuangkan hak mereka, Kedua, Perlindungan
Hak Asasi Manusia dikukuhkan dalam hukum positif melalui UUDN RI 1945
maupun reformasi hukum atas perundang-undangan dan ratifikasi
norma-norma hak asasi manusia, dan reformasi sistem peradilan dengan
para hakim yang tidak lagi bercorak positivisme-legalistik yang sudah
usang tetapi lebih progresif-responsif. teori
keadilan retributif dan komutatif Aristoteles telah mengalami kemajuan
pesat dengan munculnya konsep keadilan restoratif yang menekankan
pemulihan keadilan bagi korban pelanggaran HAM berat.
Dalam
masa pemerintahan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) selama dua
periode ini (2004-sekarang), Penegakan HAM tidak menampakkan
perkembangan apapun bahkan di nilai gagal. SBY tidak menindak lanjuti
secara serius laporan hasil penyelidikan Komnas HAM yang sudah
diserahkan ke Kejaksaan Agung. hal ini dapat dilihat dari bolak baliknya
berkas perkara pelanggaran HAM berat dari Komnas HAM ke Kejagung
begitupun sebaliknya dengan alasan penyelidikan tidak lengkap atau
pengadilan HAM ad Hoc yang belum terbentuk. Jika pemerintahan SBY
memiliki komitmen kuat penegakan HAM, maka dapat memerintahkan secara
tegas penyidikan dan penuntutan kepada Kejaksaan Agung dengan
mengeluarkan Kepres pembentukan pengadilan HAM sesuai UU No. 26 Tahun
2000.
Sikap diam SBY ini menyiratkan kuatnya praktek impunitas (Impunity) terhadap pelaku pelanggaran HAM berat (gros violation of human rights) dimasa lampau karena tidak ada yang bertanggungjawab. Pelaku
pelanggaran dibiarkan tak tersentuh hukum seakan-akan mempunyai
kekebalan hukum dan aparat tak berkutik terhadap pelaku pelanggaran atau
kejahatan. Pelaku menikmati hak-hak istimewa –karena kekebalannya- dan
menikmati perlakuan khusus dalam hukum yang dibiarkan oleh negara.
Impunitas telah mengakibatkan prinsip persamaan dimuka hukum (equality before the law)
dikorbankan. Hukum tak lagi berlaku bagi semua orang, melainkan justru
hanya berlaku bagi orang-orang yang tak berdaya. Negara melalui para
pejabat dan penegak hukum telah melakukan penyalagunaan kekuasaan (abuse of power)
dan bertindak diskriminatif. Bagi para korban pelanggaran HAM,
impunitas berarti tidak ada hak mereka menuntut keadilan. Negara telah
merestui kekejaman dan menjadi sekutu kejahatan itu sendiri.
Keberlakuan
UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang
bertujuan menjerat para pelaku pelanggaran HAM tidak menunjukkan
keberpihakan pada korban terhadap akses keadilan. Peradilan yang diharap
berlangsung adil dan jujur justeru penuh dengan tekanan dari para
tersangka (TNI/Polri) tanpa ada upaya dari pemerintah untuk mencegahnya,
dan yang lebih fatal dakwaan dan tuntutan jaksa dalam beberapa
persidangan pengadilan HAM (Timor-Timur, Tanjungpriok dan Abepura)
dinilai sangat lemah dan para saksi kunci tidak dihadirkan dalam
persidangan, sementara hakim tidak mengeksplorasi bukti-bukti dan fakta
persidangan secara mendalam, hak-hak korban pelanggaran HAM juga
terabaikan dan tidak dipenuhi negara, pengadilan HAM dibentuk sebagai
sikap responsif tetapi konservatif dalam substansi sehingga susah
menjerat para pelaku dan masih kuatnya pengaruh politik sisa Orde Baru
dalam tatanan politik kekuasaan reformasi. Pelanggaran HAM berat semakin
banyak dan terus meningkat, pengadilan HAM dibentuk tapi tak satupun
pelakunya dapat dipenjarakan. Atau sengaja dibentuk untuk digagalkan.
Sumber : http://hukum.kompasiana.com/2013