Sepertinya
semua orang pernah berbohong dan sebagian besar orang pernah melakukan
korupsi kecil-kecilan. Menggunakan sarana kantor untuk keperluan
sendiri, bolos kerja, membeli buku untuk pribadi dengan uang lembaga,
itu sebenarnya korupsi juga. Namun, korupsi berkelompok, besar-besaran,
sangat terorganisasi, direkayasa dan ditutupi bersama—sesuatu yang
beberapa waktu terakhir terus diberitakan media—merupakan sesuatu yang
sangat sulit dibayangkan oleh sebagian besar masyarakat awam. Bias
persepsi
Dalam
psikologi manusia, ada beberapa proses yang cenderung membuat kita
mengambil penyimpulan yang ”bias”. Ini akan sekaligus menghalangi kita
untuk memperoleh pengetahuan yang ”sebenar-benarnya” dan lebih lanjut
lagi menghalangi kita melakukan langkah yang setepat-tepatnya demi
mencegah atau menanggulangi hal buruk.
Sesungguhnya
ini adalah proses yang alamiah saja sebagai suatu cara untuk
mempermudah manusia memahami dunia dan menciptakan harmoni dengan dunia
sosialnya. Namun, bila dibiarkan begitu saja, jelas akan sangat
menyulitkan pemberantasan korupsi.
Yang
kita kenal dan dekat dengan kita (kecuali tampilan luarnya terlalu
negatif atau kita pernah punya pengalaman buruk dengannya) akan
cenderung kita nilai lebih positif. Orang yang dari permukaan terlihat
baik (misalnya sopan, ganteng atau cantik, perlente, berposisi
meyakinkan, bersikap menyenangkan) juga lebih sulit dipercaya melakukan
hal buruk daripada orang yang tampilan luarnya terkesan negatif.Orang
yang berkuasa pada akhirnya juga sering dapat mengendalikan wacana.
Maksudnya, di awal bisa saja kita mencurigai seseorang atau suatu
kelompok melakukan hal buruk tertentu. Namun, yang berkuasa cenderung
memiliki akses ke banyak posisi penting, pandai berstrategi, luwes
mengambil langkah, tidak selalu melalui uang ataupun ancaman eksplisit
untuk dapat memengaruhi dan mengubah wacana publik.
Kadang
pendekatan yang sangat simpatik lebih ”powerful” daripada ancaman dan
kata-kata kasar. Maka, ketika ada orang dekat atau yang terkesan positif
diberitakan melakukan kekerasan seksual atau korupsi, cukup sering kita
terkejut dan tidak percaya.
Eufemisme
Eufemisme
menunjuk pada penggunaan istilah yang lebih halus untuk menggantikan
ungkapan yang dirasa kasar atau dikhawatirkan menyinggung perasaan. Ini
sebenarnya juga suatu tindakan yang netral saja atau malahan positif
untuk menghindari pelabelan negatif, memelihara harmoni sosial, atau
menciptakan pemahaman lebih positif. Psikolog yang melakukan konseling
sering menggunakan istilah-istilah yang lebih berkesan positif untuk
memberdayakan kliennya.
Misalnya,
daripada mengatakan: ”orangtuamu telah melakukan kekerasan padamu
sehingga kamu menjadi seorang pemarah dan pendendam”, kita mungkin
menggunakan frase: ”orangtuamu telah berlaku kurang baik padamu dan itu
menyebabkan luka batin yang dalam”. Tujuannya agar klien merasa
dimengerti sekaligus diarahkan untuk bersikap positif dan konstruktif
bagi hidupnya sendiri, tidak terpaku pada sikap negatif dan dendam pada
orangtua.
Sayangnya
dalam masyarakat kita eufemisme digunakan berlebihan sehingga kita
sulit melakukan diferensiasi dengan obyektif dan tajam, tidak mampu lagi
membedakan mana yang baik atau buruk, atau malahan sengaja terus
melanggengkan perilaku tidak etis.
Korupsi
kehilangan kesalahan etisnya dalam istilah ”komisi”, ”uang jasa”,
”tanda terima kasih”, ”biaya administrasi”, ”mismanajemen”, dan entah
apalagi. Kita tidak mampu bersikap kritis karena semua jadi terkesan
”baik”, ”positif”, atau bila pun kurang baik tidaklah demikian buruk
sehingga tidak memerlukan tindakan segera untuk ditangani.
Misalnya,
menyebut masyarakat miskin sebagai masyarakat ”prasejahtera” cenderung
membutakan para pengambil kebijakan bahwa meski ekonomi makro Indonesia
membaik, masyarakat yang riil harus bertahan hidup dalam kemiskinan
sungguh sangat memprihatinkan kondisi hidupnya. Jadi, tidak diperlukan
program yang sangat tepat untuk menanggulanginya. Apalagi bila indikator
kemiskinan ditetapkan sangat rendah, yang menyebabkan orang yang
kenyataannya tidak dapat menyekolahkan anak dan sulit makan tiga kali
sehari masih belum digolongkan miskin.
Mencegah korupsi
Eufemisme
berlebihan menghalangi kita memahami esensi perbedaan baik-buruk dan
benar-salah. Kita meminimalkan derajat kesalahan dari tindakan buruk
yang dilakukan orang lain maupun diri sendiri. Kita menggunakan istilah
dan pemaknaan baru atas tindakan buruk yang ada demi menciptakan harmoni
dengan diri sendiri dan lingkungan.
Maka,
bisa dimengerti bahwa cukup banyak pelaku korupsi, khususnya di
Indonesia, baik yang telah tertangkap maupun tidak, sepertinya tidak
merasa malu ataupun disonan tentang dirinya sendiri. Mereka baik-baik
saja secara psikologis, hidup bahagia, menjalankan ritual agama
masing-masing seperti biasa, terus melakukan korupsi dengan berbagai
alasannya, dan di depan publik mengumumkan tanpa beban bahwa dirinya dan
organisasinya bersih korupsi.
Pencegahan
korupsi perlu dilakukan sangat komprehensif, dari berbagai arah, secara
serentak dan konsisten, serta sejak sedini mungkin. Pendidikan
antikorupsi yang utuh, selain mengandung telaah berbagai disiplin lain,
perlu melibatkan komponen psikologi yang cukup besar. Kejujuran,
moralitas, kebaikan, nilai benar-salah, dan tanggung jawab sosial perlu
ditelaah dalam konteks berbeda-beda agar anak sedini mungkin paham
situasi ideal dan situasi riil yang sering berbeda dengan yang ideal,
tetapi tetap mampu memisahkan dengan tajam mana yang pada dasarnya salah
maupun benar. Kasus-kasus nyata sehari-hari dari yang sederhana hingga
yang kompleks perlu didiskusikan.
Misalnya,
mencontek itu, dengan alasan apa pun, tetap merupakan tindakan yang
salah. Menolong teman mencuri barang karena sangat butuh uang tetap hal
buruk. Sangat berbahaya bila yang mengucapkan slogan antikorupsi malah
sangat piawai melakukannya. Pemberantasan korupsi menjadi pekerjaan
rumah luar biasa besar bagi kita semua.