Walaupun Indonesia selalu mendapat julukan sebagai Negara paling korup di dunia, tetapi beberapa upaya untuk memberantas tindak pidana korupsi telah dilakukan.
Beberapa kebijakan legislatif yang pernah dilakukan, adalah pembaharuan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi itu sendiri yang diharapkan dapat mengurangi terjadinya tindak pidana korupsi.
Usaha di bidang legislasi dimulai sejak tahun 1960 dengan diundangkan: UU No.24 Prp tahun 1960; Tetapi undang-undang ini kemudian dianggap tidak memadai lagi bagi usaha pemberantasan tindak pidana korupsi, “peraturan ini kurang memadai perkembangan masyarakat yang menemukan cara-cara lain di dalam melakukan tindak pidana korupsi, yang tidak tercakup oleh undang-undang tersebut”.
Oleh karena itu disusun undang-undang baru pada tahun 1971 yaitu dengan diundangkan UU No.3 tahun 1971;
Dengan demikian secara berturut-turut di Indonesia pernah berlaku undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitu:Beberapa kebijakan legislatif yang pernah dilakukan, adalah pembaharuan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi itu sendiri yang diharapkan dapat mengurangi terjadinya tindak pidana korupsi.
Usaha di bidang legislasi dimulai sejak tahun 1960 dengan diundangkan: UU No.24 Prp tahun 1960; Tetapi undang-undang ini kemudian dianggap tidak memadai lagi bagi usaha pemberantasan tindak pidana korupsi, “peraturan ini kurang memadai perkembangan masyarakat yang menemukan cara-cara lain di dalam melakukan tindak pidana korupsi, yang tidak tercakup oleh undang-undang tersebut”.
Oleh karena itu disusun undang-undang baru pada tahun 1971 yaitu dengan diundangkan UU No.3 tahun 1971;
- UU No.24 Prp. Tahun 1960;
- UU No.3 tahun1971
- UU No.28 tahun 1999
- UU No.31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No.20 tahun 2001
- UU No.30 tahun 2002.
Dengan sengaja
saya memberi cetak tebal terhadap UU No.28 tahun 1999 tersebut, sebab
undang-undang ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari berbagai
upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, karena
penyelenggaraan Negara yang bersih dari KKN adalah syarat mutlak dari
pemberantasan tindak pidana korupsi. Penyelenggara Negara tersebut
adalah mereka yang, terutama duduk di badan-badan legislatif (pusat dan
daerah), eksekutif, maupun yudikatif (pasal 2 UU No.28/1999).
Demikian juga dengan Undang-Undang No.30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), yang dibentuk berdasarkan pertimbangan bahwa :
Demikian juga dengan Undang-Undang No.30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), yang dibentuk berdasarkan pertimbangan bahwa :
“Lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi”.2) karena “Tindak pidana korupsi digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa”.3)
Paradigma yang menarik dari berbagai usaha legislasi tersebut di atas adalah : unsur dan sifat melawan hukum dari tindak pidana korupsi,
yang secara sadar telah dirumuskan dalam perundang-undangan
pemberantasan tindak pidana korupsi dengan paradigma tertentu, guna
melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi secara lebih baik.
Di bawah ini, secara berturut-turut, saya akan menguraikan rumusan unsur melawan hukum serta arti dari sifat melawan hukum dalam perundang-undangan pemberantasan tindak pidana korupsi yang pernah atau sedang berlaku di Indonesia, sebagaimana diminta oleh Panitia Seminar ini.
Bagian terakhir dari makalah ini dilampirkan bagian tertentu dari makalah yang pernah disampaikan dalam Seminar Eksaminasi Putusan Mahkamah Konstitusi No.003 tahun 2005, khususnya yang berkenaan dengan unsur melawan hukum
I. Dalam UU No.24 Prp. Tahun 1960, sifat melawan hukum hanya dapat dibuktikan jika terlebih dahulu ada suatu kejahatan atau pelanggaran yang terlebih dahulu harus dibuktikan, dan memperkaya diri sendiri atau orang lain yang dapat menyebabkan kerugian keuangan Negara dan perekonomian Negara.4)
Ini berarti bahwa sifat melawan hukum yang digunakan dalam UU tsb adalah sifat melawan hukum formal. Digunakannya sifat melawan hukum formal mengakibatkan pembuktian tindak pidana korupsi menjadi sulit, satu sama lain karena Jaksa Penuntut Umum perlu membuktikan satu demi satu unsur tindak pidana korupsi seperti dirumuskan dalam pasal-pasal yang didakwakan.
Perumusan sifat melawan hukum secara materiel belum diperkenalkan.
Dengan demikian sifat melawan hukum materiel, dalam ilmu hukum pidana, hanya berfungsi negatif. Salah satu yurisprudensi Mahkamah Agung yang terkenal adalah Putusan MARI No. 45K/Kr/1965, tanggal 8 Januari 1966.
Dalam putusannya Mahkamah Agung RI berpendapat:
Di bawah ini, secara berturut-turut, saya akan menguraikan rumusan unsur melawan hukum serta arti dari sifat melawan hukum dalam perundang-undangan pemberantasan tindak pidana korupsi yang pernah atau sedang berlaku di Indonesia, sebagaimana diminta oleh Panitia Seminar ini.
Bagian terakhir dari makalah ini dilampirkan bagian tertentu dari makalah yang pernah disampaikan dalam Seminar Eksaminasi Putusan Mahkamah Konstitusi No.003 tahun 2005, khususnya yang berkenaan dengan unsur melawan hukum
I. Dalam UU No.24 Prp. Tahun 1960, sifat melawan hukum hanya dapat dibuktikan jika terlebih dahulu ada suatu kejahatan atau pelanggaran yang terlebih dahulu harus dibuktikan, dan memperkaya diri sendiri atau orang lain yang dapat menyebabkan kerugian keuangan Negara dan perekonomian Negara.4)
Ini berarti bahwa sifat melawan hukum yang digunakan dalam UU tsb adalah sifat melawan hukum formal. Digunakannya sifat melawan hukum formal mengakibatkan pembuktian tindak pidana korupsi menjadi sulit, satu sama lain karena Jaksa Penuntut Umum perlu membuktikan satu demi satu unsur tindak pidana korupsi seperti dirumuskan dalam pasal-pasal yang didakwakan.
Perumusan sifat melawan hukum secara materiel belum diperkenalkan.
Dengan demikian sifat melawan hukum materiel, dalam ilmu hukum pidana, hanya berfungsi negatif. Salah satu yurisprudensi Mahkamah Agung yang terkenal adalah Putusan MARI No. 45K/Kr/1965, tanggal 8 Januari 1966.
Dalam putusannya Mahkamah Agung RI berpendapat:
“Suatu perbuatan pada umumnya dapat hilang sifatnya sebagai melawan hukum bukan hanya berdasarkan suatu ketentuan dalam perundang-undangan, melainkan juga berdasarkan asas-asas keadilan, atau asas-asas hukum yang tidak tertulis dan bersifat umum; dalam perkara ini misalnya faktor-faktor: Negara tidak dirugikan, kepentingan umum dilayani, terdakwa sendiri tidak mendapat untung”.
Alasan pembenar di luar KUHP (bersifat
tidak tertulis) menjadi penilaian Hakim untuk menetapkan hilangnya sifat
melawan hukum tindak pidana korupsi yang didakwakan. Berarti bahwa
ajaran sifat melawan hukum yang meteriel, mempunyai fungsi yang
negative. Karena penilaian ini benar-benar diukur dari pribadi seorang
(Majelis) Hakim, terdapat kemungkinan unsur-unsur subyektif dalam
menentukan ada atau hilangnya sifat melawan hukum tersebut, sehingga
pelaku tidak dijatuhi pidana dalam arti dilepaskan dari segala tuntutan
hukum.
II. Sejak diundangkan UU No.3/1971, pengertian melawan hukum tindak pidana korupsi diperluas. Didalam Penjelasan Rancangan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang disampaikan oleh Pemerintah pada tangal 13 Agustus 1970, dikemukakan bahwa :
II. Sejak diundangkan UU No.3/1971, pengertian melawan hukum tindak pidana korupsi diperluas. Didalam Penjelasan Rancangan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang disampaikan oleh Pemerintah pada tangal 13 Agustus 1970, dikemukakan bahwa :
“Dengan mengemukakan sarana ‘melawan hukum’, seperti dalam hukum perdata, yang pengertiannya dalam Undang-Undang ini juga meliputi perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma kesopanan yang lazim atau yang bertentangan dengan keharusan dalam pergaulan hidup untuk bertindak cermat terhadap orang lain, barangnya maupun haknya, maka dimaksudkan agar supaya lebih mudah memperoleh pembuktiantentang perbuatan yang dapat dihukum, yaitu ‘memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan’, daripada memenuhi ketentuanuntuk membuktikan lebih dahulu adanya kejahatan/pelanggaranseperti disyaratkan oleh Undang-Undang No.24 Prp tahun 1960’.
Setelah Undang-Undang No.3 Tahun 1970
disahkan, dalam penjelasannya, sekedar mengenai unsur melawan hukum,
dapat diketahui bahwa :
“Dengan mengemukakan sarana ‘melawan hukum’, yang mengandung pengertian formil maupun materiel, maka dimaksudkan agar supaya lebih mudah memperoleh pembuktian tentang perbuatan yang dapat dihukum, yaitu memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan’, daripada memenuhi ketentuan untuk membuktikan lebih dahulu adanya kejahatan/pelanggaran …”
Dengan demikian sifat melawan hukum dari tindak pidana korupsi
tidak hanya bersifat formal saja, tetapi juga bersifat materiil,
dengan maksud untuk mempermudah pembuktian. Dalam ilmu hukum pidana hal
ini disebut sebagai fungsi positif dari ajaran sifat melawan hukum
yang materiel.
Di dalam penjelasan umum UU No.3/1971 disebutkan : “Disamping perumusan tindak pidana korupsi yang mencakup perbuatan-perbuatan tercela dan merugikan keuangan/perekonomian Negara……….”
Selain itu didalam bab menimbang telah ditegaskan bahwa perbuatan korupsi “sangat merugikan keuangan/perekonomian Negara dan menghambat pembangunan Nasional”
Selanjutnya dalam penjelasan pasal 1 ayat (1) sub a, dinyatakan: “ … melawan hukum ini adalah sarana untuk melakukan perbuatan yang dapat dihukum yaitu ‘memperkaya dirii sendiri’ atau ‘orang lain’ atau ‘suatu badan’.
Putusan Mahkamah Agung RI No.275K/Pid/1982, tanggal 15 Desember 1983., memberikan ukuran sifat melawan hukum tindak pidana korupsi, bahwa :
Di dalam penjelasan umum UU No.3/1971 disebutkan : “Disamping perumusan tindak pidana korupsi yang mencakup perbuatan-perbuatan tercela dan merugikan keuangan/perekonomian Negara……….”
Selain itu didalam bab menimbang telah ditegaskan bahwa perbuatan korupsi “sangat merugikan keuangan/perekonomian Negara dan menghambat pembangunan Nasional”
Selanjutnya dalam penjelasan pasal 1 ayat (1) sub a, dinyatakan: “ … melawan hukum ini adalah sarana untuk melakukan perbuatan yang dapat dihukum yaitu ‘memperkaya dirii sendiri’ atau ‘orang lain’ atau ‘suatu badan’.
Putusan Mahkamah Agung RI No.275K/Pid/1982, tanggal 15 Desember 1983., memberikan ukuran sifat melawan hukum tindak pidana korupsi, bahwa :
“Menurut kepatutan dalam masyarakat, khususnya dalam perkara-perkara tindak pidana korupsi, apabila seorang pegawai negeri menerima fasilitas yang berlebihan serta keuntungan lainnya ……, hal itu sudah merupakan perbuatan melawan hukum, karena menurut kepatutan perbuatan itu merupakan perbuatan tercela atau perbuatan yang menusuk perasaan hati masyarakat banyak”.
Selanjutnya dikatakan pula bahwa:
“Penafsiran terhadap sebutan melawan hukum tidak tepat, jika hal itu hanya dihubungkan dengan policy perkreditan direksi yang menurut Pengadilan Negeri tidak melanggar peraturan hukum yang ada sanksi pidananya, akan tetapi sesuai dengan pendapat yang sudah berkembang dalam ilmu hukum, seharusnya hal itu diukur berdasarkan asas-asas hukum yang tidak tertulis, maupun asas-asas yang bersifat umum menurut kepatutan dalam masyarakat”.
III. Di dalam UU No.31 /1999 yang diperbaharui dengan UU No.20 /2001,
sifat melawan hukum secara materiil ini bahkan dikaitkan dengan dampak
dari korupsi yang dianggap telah merugikan hak-asasi masyarakat
banyak, yaitu hak ekonomi dan hak sosialnya. Jadi tindak pidana korupsi
bukan hanya mengakibatkan kerugian uang Negara dan perekonomian Negara
saja, tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial
dan ekonomi masyarakat secara luas. Juga karena tindak pidana korupsi
telah terjadi secara sistematik dan meluas maka tindak pidana korupsi
di dalam undang-undang ini digolongkan sebagai extra ordinary crime.
Juga tentang sifat melawan-hukum dalam undang-undang ini dijelaskan dalam penjelasan pasal2 ayat (1) bahwa :
Juga tentang sifat melawan-hukum dalam undang-undang ini dijelaskan dalam penjelasan pasal2 ayat (1) bahwa :
” Yang dimaksud dengan ‘secara melawan-hukum’ dalam pasal mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiel, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan masyarakat atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana”.
Walaupun terdapat banyak tantangan
terhadap arti sifat melawan hukum yang sangat luas, tetapi tepat sekali
apabila pembuat undang-undang menegaskan sifat perbuatan melakukan
tindak pidana korupsi yang jelas-jelas sangat tercela, tidak patut,
karena ditengah-tengah masyarakat Indonesia yang sekarang 30% berada di
bawah garis kemiskinan, masih ada orang yang melakukan korupsi untuk
memperkaya dirinya sendiri atau orang lain atau suatu badan, dengan
cara-cara yang tidak terpuji, misalnya korupsi, kolusi dan nepotisme.
Tetapi sebagai bagian dari perumusan tindak pidana korupsi, pasal 2 ayat
1 UU No.20/2001 ini, unsur melawan hukum tetap menjadi kewajiban Jaksa
Penuntut Umum untuk membuktikannya.
Oleh karena itu undang-undang ini masih tetap memberi kemudahan kepada mereka yang tidak melakukan tindak pidana korupsi melakukan ‘pembuktian secara terbalik (terbatas)’ seperti dimuat dalam pasal 37 ayat (1), yang berarti bahwa tersangka/terdakwa tetap dapat membela dirinya bahwa kekayaannya berasal dari sumber yang sah, atau diperoleh secara tidak melawan hukum.
IV. Di dalam United Nation Convention Against Corruption 2003. Resolusi PBB No.57/169, (yang sudah di ratifikasi dengan Undang-Undang No.7 tahun 2005), yang merupakan keprihatinan dunia terhadap tindak pidana korupsi, disebutkan bahwa:
- “Prihatin atas kegawatan masalah dan ancaman-ancaman yang ditimbulkan oleh korupsi terhadap stabilitas dan keamanan masyarakat, yang meruntuhkan lembaga-lembaga dan nilai-nilai demokrasi, nilai-nilai etika dan keadilan serta membahayakan pembangunan berkelanjutan dan supremasi hukum;
Oleh karena itu undang-undang ini masih tetap memberi kemudahan kepada mereka yang tidak melakukan tindak pidana korupsi melakukan ‘pembuktian secara terbalik (terbatas)’ seperti dimuat dalam pasal 37 ayat (1), yang berarti bahwa tersangka/terdakwa tetap dapat membela dirinya bahwa kekayaannya berasal dari sumber yang sah, atau diperoleh secara tidak melawan hukum.
IV. Di dalam United Nation Convention Against Corruption 2003. Resolusi PBB No.57/169, (yang sudah di ratifikasi dengan Undang-Undang No.7 tahun 2005), yang merupakan keprihatinan dunia terhadap tindak pidana korupsi, disebutkan bahwa:
- “Prihatin atas kegawatan masalah dan ancaman-ancaman yang ditimbulkan oleh korupsi terhadap stabilitas dan keamanan masyarakat, yang meruntuhkan lembaga-lembaga dan nilai-nilai demokrasi, nilai-nilai etika dan keadilan serta membahayakan pembangunan berkelanjutan dan supremasi hukum;
- Prihatin juga akan kaitan antara korupsi dan bentuk-bentuk dari kejahatan, khususnya kejahatan yang terorganisai dan kejahatan ekonomi, termasuk tindak pidana pencucian uang;
- Prihatin lebih jauh lagi, perkara-perkara korupsi yang melibatkan asset-aset yang demikian besar, yang dapat menghabiskan sebagian sumber daya Negara, dan yang mengancam stabilitas politik dan pembangunan berkelanjutan dari Negara yang bersangkutan;
- Meyakini bahwa korupsi tidak lagi merupakan masalah lokal, melainkan suatu fenomena transnasional …. “
Dari pertimbagan Konvensi ini sifat
melawan hukum tindak pidana korupsi ditunjukkan dengan kata-kata:
“masalah dan ancaman-ancaman yang ditimbulkan oleh korupsi terhadap
stabilitas dan keamanan masyarakat, yang meruntuhkan lembaga-lembaga dan
nilai-nilai demokrasi, nilai-nilai etika dan keadilan serta
membahayakan pembangunan berkelanjutan dan supremasi hukum“ dan “korupsi
yang melibatkan asset-aset yang demikian besar, yang dapat
menghabiskan sebagian sumber daya Negara, dan yang mengancam stabilitas
politik dan pembangunan berkelanjutan dari Negara yang bersangkutan.”
Dengan demikian tetap saja sifat melawan hukum dari tindak pidana korupsi pada intinya adalah perbuatan yang tercela, tidak patut dan bertentangan dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat dan karenanya perbuatan yang bersifat demikian dapat dipidana.
V. Catatan terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 003/PUU-IV/2006.
Beberapa pertimbangan hukum yang akan menjadi catatan penulis adalah:
a. tentang putusan yang melebihi apa yang dimintakan pemohon;
b. tentang amar putusan terhadap penjelasan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 21 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. (menyesuaikan dengan putusan MK selanjutnya disebut UU PTPK)
Mahkamah Konstitusi tidak mempunyai hukum acara pemeriksaan persidangan.
Walaupun MK tidak mempunyai hukum acara peradilan tersendiri, tetapi hal tersebut bukan merupakan hal bahwa MK boleh saja melakukan segalanya, sebab baik dalam hukum acara perdata, hukum acara pidana dan hukum acara PTUN, dan hukum acara pada umumnya, hukum acara membatasi hak-hak asasi yang sangat fundamental sifatnya, yaitu baik pemohon maupun penyelenggara peradilan tidak boleh bertindak sewenang-wenang. Karena itulah pemohon/penggugat harus jelas dan tegas meminta apa yang dimohon atau yang digugatnya. Saya kira sama halnya dengan permohonan uji materiel kepada MK.
Sedemikian rupa hukum acara merumuskan norma-normanya sehingga tidak diperkenankan menafsirkannya, karena dalam hukum acara ditetapkan formalitas peradilan agar hak asasi pihak-pihak terlindungi. Oleh karena itu asas-asas hukum acara seperti independen, imparsial, terbuka untuk umum, ne bis in idem, diselenggarakan secara cepat, sederhana dan biaya ringan, dan sebagainya adalah hal-hal yang harus menjadi perhatian para Hakim terutama. Demikian pula yurisprudensi dan pendapat ahli hukum yang berwibawa, atau kebiasaan peradilan, telah menjadi panutan para Hakim dalam memutus perkara yang dihadapkan kepadanya.
Dalam perkara Ir.DAWUD DJATMIKO ini, pemohon memohon agar dilakukan uji materiel terhadap pasal 2 ayat (1), penjelasan pasal 2 ayat (1), pasal 3, Penjelasan pasal 3, dan pasal 15, sepanjang mengenai kata ‘percobaan’ UU PTPK, dinyatakan betentangan dengan pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Khusus uji materiel dalam pasal 2 ayat (1) dan penjelasannya, pemohon hanya memohon uji materiel tentang kata dapat (hlm. 7 Putusan).
Pemohon hanya meminta agar putusan MK :
1. Menerima dan mengabulkan permohonan Pemohon
2. Menyatakan …… bertentangan terhadap pasal 28D ayat (1) UUD 1945;
3. Menyatakan ….. tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya.
Seperti juga dalam perkara-perkara uji materiel terhadap UUD 1945, permohonan-permohonan pemohon tidak disertai permohonan atau meminta: (atau) putusan hakim yang seadil-adilnya ( ex aequo et bono) seperti yang biasa terjadi dalam perkara-perkara perdata atau pidana (dengan clementie).
Praktek pengadilan perdata, khususnya, telah menerima yurisprudensi tetap, bahwa hanya terhadap permintaan ex aquo et bono saja Hakim boleh memberikan putusan yang tidak dimintakan para pihak. Selebihnya Hakim tidak boleh memutus sesuatu yang tidak dimintakan para pihak, karena Hakim telah melampaui kewenangannya, dan putusan semacam itu batal demi hukum (pasal 178 HIR).
Putusan MK No. 003 ini pasti akan memunculkan pertanyaan: dapatkah Hakim MK memutus sesuatu yang tidak dimintakan uji materiel oleh Pemohon?
Seperti disebut di atas MK tidak mempunyai hukum acaranya sendiri. Dengan melakukan perbandingan dengan hukum acara perdata yang selama ini tampaknya dipakai sebagai acuan oleh MK, dengan demikian dalam putusan ini MK tidak hanya memeriksa dan memutus permohonan Pemohon Ir.Dawud Djatmiko yang tidak dimintakan, tetapi telah mengadili Pembuat Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang tidak merupakan pemohon (pihak), dan dalam perkara ini Dewan Perwakilan Rakyat didengar keterangannya, juga seperti pihak-pihak lain yang didengar keterangannya hanya menjelaskan sekitar kata dapat.
Tentang masalah ‘melawan hukum’ ini, diakui oleh MK bahwa “ … yang perlu mendapat perhatian dan dipertimbangkan secara mendalam adalah kalimat pertama Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU PTPK yang juga dimohonkan oleh Pemohon sebagaimana tertulis dalam petitum permohonannya meskipun Pemohon tidak memfokuskan argumentasinya secara khusus terhadap bagian tersebut …. (hlm.73, huruf tebal dari penulis). Padahal jika dibaca dari seluruh permohonan pemohon, tentang masalah ini tidak pernah terbaca kalimat yang menyatakan kehendak pemohon untuk melakukan uji materiel terhadap hal tersebut. Kiranya lebih baik apa yang dipertimbangkan oleh Hakim Laica Marzuki yang menyatakan bahwa “Walaupun ………… , maka hal pengujian terhadap kata melawan hukum merupakan keniscayaan hukum”. (hlm.82 bawah-83 atas)
Tentang amar putusan :
Pertimbangan hukum yang perlu mendapat perhatian sehingga menumbuhkan amar putusan MK adalah:
- Penjelasan dari pembuat undang-undang ini ………. telah melahirkan norma baru ….. (hlm. 74)
- Selanjutnya pada hlm.75 ‘… konsep melawan hukum materiel (materiele wederrechtelijk), yang merujuk pada hukum tidak tertulis dalam ukuran kepatutan, kehati-hatian dan kecermatan yang hidup dalam masyarakat, sebagai satu norma keadilan, adalah merupakan ukuran yang tidak pasti, dan berbeda beda dari satu lingkungan masyarakat tertentu ke lingkungan masyarakat lainnya, sehingga apa yang melawan hukum di satu tempat mungkin di tempat lain diterima dan diakui sebagai sesuatu yang sah dan tidak melawan hukum, menurut ukuran yang dikenal dalam kehiduan masyarakat setempat …’
Untuk masalah ini tampaknya MK telah melupakan sesuatu hal bahwa yang dimintakan oleh pemohon adalah undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi dan bukan undang-undang yang lain.
Korupsi sedang kita berantas karena telah menyengsarakan bangsa dan negara Indonesia ini, oleh siapapun dan dimanapun perbuatan korupsi dilakukan, tanpa memandang hukum adat atau kebiasaan setempat atau hukum yang tidak tertulis, sebab menurut hukum apapun korupsi adalah perbuatan yang tercela, dan tidak patut.
Karena itu tidak salah apabila pembuat undang-undang menegaskan kembali bahwa korupsi adalah perbuatan tidak patut dan tercela seperti telah dikukuhkan dalam yurisprudensi Indonesia , antara lain Putusan MA RI No. 275K/Pid/1982.
Dengan menyatakan bahwa penjelasan pasal 2 ayat (1) bertentangan dengan UUD 1945, (hlm.78) MK telah menyamakan korupsi dengan tindak pidana adat lainnya, sehingga menurut MK korupsi adalah tindak pidana biasa.
Untuk hal-hal terurai di atas, penulis ingin menegaskan lagi bahwa;
o Hanya terhadap anak kalimat ‘meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan’, penulis sependapat dengan MK.
o MK, dalam putusannya tersebut, tidak cermat membedakan antara unsur melawan hukum dan sifat melawan hukum . Hal ini dapat dilihat dari judul pertimbangan (hlm.75) “Unsur melawan hukum (wederrechtelijkheid)”. Dalam bahasa Belanda kata heid menunjukkan sifat, suatu hal yang sangat berbeda antara unsur dan sifat. Unsur, apalagi dalam UUTPK ini merupakan bagian dari perumusan delik, berarti Jaksa Penuntut Umum harus membuktikannya, sedangkan sifat melawan hukum menunjukkan betapa buruk (tercela)-nya perbuatan tersebut dan karenanya dapat dipidana.
o Dalam teori hukum pidana telah kita ketahui bahwa sifat melawan hukum adalah unsur mutlak (menurut Moeljatno), atau unsur umum yang harus selalu ada (Hazewinkel Suringa, Remmelink, dsb penulis Hukum Pidana di Belanda) dalam tindak pidana. Dan dalam perumusan delik unsur melawan hukum dapat merupakan bagian (bestand deel) atau elemen (element) delik.
o Sifat melawan hukum materiel telah diterima sebagai berperan negatif, sehingga menjadi alasan penghapus pidana (alasan pembenar).
o Fungsinya yang positif hanyalah berlaku khusus dalam hukum pidana Indonesia mengingat masih berlakunya hukum adat ( Soepomo, dikuatkan oleh Moelyatno), tetapi itupun terbatas sepanjang tidak ada padanannya dalam KUHP (pasal 5 Undang-Undang No 1 (Drt) 1951)
Dari Uraian di atas terhadap putusan MK.003/PUU-IV/2006 dapat disimpulkan beberapa hal:
- Putusan MK No.003/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli 2006 ini, dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi, sebenarnya tidak mengubah apapun, karena secara substansial tidak mengubah isi UU yang dimohon.
- Walaupun demikian perlu ditegaskan kembali bahwa pemberantasan tindak pidana korupsi tetap saja dibutuhkan ‘komitmen’ semua pihak, negara, pemerintah, penegak hukum, masyarakat, dan semua elemen bangsa.
Ada beberapa dampak keuntungan yang dapat ditarik dari putusan ini:
Dengan demikian tetap saja sifat melawan hukum dari tindak pidana korupsi pada intinya adalah perbuatan yang tercela, tidak patut dan bertentangan dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat dan karenanya perbuatan yang bersifat demikian dapat dipidana.
V. Catatan terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 003/PUU-IV/2006.
Beberapa pertimbangan hukum yang akan menjadi catatan penulis adalah:
a. tentang putusan yang melebihi apa yang dimintakan pemohon;
b. tentang amar putusan terhadap penjelasan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 21 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. (menyesuaikan dengan putusan MK selanjutnya disebut UU PTPK)
Mahkamah Konstitusi tidak mempunyai hukum acara pemeriksaan persidangan.
Walaupun MK tidak mempunyai hukum acara peradilan tersendiri, tetapi hal tersebut bukan merupakan hal bahwa MK boleh saja melakukan segalanya, sebab baik dalam hukum acara perdata, hukum acara pidana dan hukum acara PTUN, dan hukum acara pada umumnya, hukum acara membatasi hak-hak asasi yang sangat fundamental sifatnya, yaitu baik pemohon maupun penyelenggara peradilan tidak boleh bertindak sewenang-wenang. Karena itulah pemohon/penggugat harus jelas dan tegas meminta apa yang dimohon atau yang digugatnya. Saya kira sama halnya dengan permohonan uji materiel kepada MK.
Sedemikian rupa hukum acara merumuskan norma-normanya sehingga tidak diperkenankan menafsirkannya, karena dalam hukum acara ditetapkan formalitas peradilan agar hak asasi pihak-pihak terlindungi. Oleh karena itu asas-asas hukum acara seperti independen, imparsial, terbuka untuk umum, ne bis in idem, diselenggarakan secara cepat, sederhana dan biaya ringan, dan sebagainya adalah hal-hal yang harus menjadi perhatian para Hakim terutama. Demikian pula yurisprudensi dan pendapat ahli hukum yang berwibawa, atau kebiasaan peradilan, telah menjadi panutan para Hakim dalam memutus perkara yang dihadapkan kepadanya.
Dalam perkara Ir.DAWUD DJATMIKO ini, pemohon memohon agar dilakukan uji materiel terhadap pasal 2 ayat (1), penjelasan pasal 2 ayat (1), pasal 3, Penjelasan pasal 3, dan pasal 15, sepanjang mengenai kata ‘percobaan’ UU PTPK, dinyatakan betentangan dengan pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Khusus uji materiel dalam pasal 2 ayat (1) dan penjelasannya, pemohon hanya memohon uji materiel tentang kata dapat (hlm. 7 Putusan).
Pemohon hanya meminta agar putusan MK :
1. Menerima dan mengabulkan permohonan Pemohon
2. Menyatakan …… bertentangan terhadap pasal 28D ayat (1) UUD 1945;
3. Menyatakan ….. tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya.
Seperti juga dalam perkara-perkara uji materiel terhadap UUD 1945, permohonan-permohonan pemohon tidak disertai permohonan atau meminta: (atau) putusan hakim yang seadil-adilnya ( ex aequo et bono) seperti yang biasa terjadi dalam perkara-perkara perdata atau pidana (dengan clementie).
Praktek pengadilan perdata, khususnya, telah menerima yurisprudensi tetap, bahwa hanya terhadap permintaan ex aquo et bono saja Hakim boleh memberikan putusan yang tidak dimintakan para pihak. Selebihnya Hakim tidak boleh memutus sesuatu yang tidak dimintakan para pihak, karena Hakim telah melampaui kewenangannya, dan putusan semacam itu batal demi hukum (pasal 178 HIR).
Putusan MK No. 003 ini pasti akan memunculkan pertanyaan: dapatkah Hakim MK memutus sesuatu yang tidak dimintakan uji materiel oleh Pemohon?
Seperti disebut di atas MK tidak mempunyai hukum acaranya sendiri. Dengan melakukan perbandingan dengan hukum acara perdata yang selama ini tampaknya dipakai sebagai acuan oleh MK, dengan demikian dalam putusan ini MK tidak hanya memeriksa dan memutus permohonan Pemohon Ir.Dawud Djatmiko yang tidak dimintakan, tetapi telah mengadili Pembuat Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang tidak merupakan pemohon (pihak), dan dalam perkara ini Dewan Perwakilan Rakyat didengar keterangannya, juga seperti pihak-pihak lain yang didengar keterangannya hanya menjelaskan sekitar kata dapat.
Tentang masalah ‘melawan hukum’ ini, diakui oleh MK bahwa “ … yang perlu mendapat perhatian dan dipertimbangkan secara mendalam adalah kalimat pertama Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU PTPK yang juga dimohonkan oleh Pemohon sebagaimana tertulis dalam petitum permohonannya meskipun Pemohon tidak memfokuskan argumentasinya secara khusus terhadap bagian tersebut …. (hlm.73, huruf tebal dari penulis). Padahal jika dibaca dari seluruh permohonan pemohon, tentang masalah ini tidak pernah terbaca kalimat yang menyatakan kehendak pemohon untuk melakukan uji materiel terhadap hal tersebut. Kiranya lebih baik apa yang dipertimbangkan oleh Hakim Laica Marzuki yang menyatakan bahwa “Walaupun ………… , maka hal pengujian terhadap kata melawan hukum merupakan keniscayaan hukum”. (hlm.82 bawah-83 atas)
Tentang amar putusan :
Pertimbangan hukum yang perlu mendapat perhatian sehingga menumbuhkan amar putusan MK adalah:
- Penjelasan dari pembuat undang-undang ini ………. telah melahirkan norma baru ….. (hlm. 74)
- Selanjutnya pada hlm.75 ‘… konsep melawan hukum materiel (materiele wederrechtelijk), yang merujuk pada hukum tidak tertulis dalam ukuran kepatutan, kehati-hatian dan kecermatan yang hidup dalam masyarakat, sebagai satu norma keadilan, adalah merupakan ukuran yang tidak pasti, dan berbeda beda dari satu lingkungan masyarakat tertentu ke lingkungan masyarakat lainnya, sehingga apa yang melawan hukum di satu tempat mungkin di tempat lain diterima dan diakui sebagai sesuatu yang sah dan tidak melawan hukum, menurut ukuran yang dikenal dalam kehiduan masyarakat setempat …’
Untuk masalah ini tampaknya MK telah melupakan sesuatu hal bahwa yang dimintakan oleh pemohon adalah undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi dan bukan undang-undang yang lain.
Korupsi sedang kita berantas karena telah menyengsarakan bangsa dan negara Indonesia ini, oleh siapapun dan dimanapun perbuatan korupsi dilakukan, tanpa memandang hukum adat atau kebiasaan setempat atau hukum yang tidak tertulis, sebab menurut hukum apapun korupsi adalah perbuatan yang tercela, dan tidak patut.
Karena itu tidak salah apabila pembuat undang-undang menegaskan kembali bahwa korupsi adalah perbuatan tidak patut dan tercela seperti telah dikukuhkan dalam yurisprudensi Indonesia , antara lain Putusan MA RI No. 275K/Pid/1982.
Dengan menyatakan bahwa penjelasan pasal 2 ayat (1) bertentangan dengan UUD 1945, (hlm.78) MK telah menyamakan korupsi dengan tindak pidana adat lainnya, sehingga menurut MK korupsi adalah tindak pidana biasa.
Untuk hal-hal terurai di atas, penulis ingin menegaskan lagi bahwa;
o Hanya terhadap anak kalimat ‘meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan’, penulis sependapat dengan MK.
o MK, dalam putusannya tersebut, tidak cermat membedakan antara unsur melawan hukum dan sifat melawan hukum . Hal ini dapat dilihat dari judul pertimbangan (hlm.75) “Unsur melawan hukum (wederrechtelijkheid)”. Dalam bahasa Belanda kata heid menunjukkan sifat, suatu hal yang sangat berbeda antara unsur dan sifat. Unsur, apalagi dalam UUTPK ini merupakan bagian dari perumusan delik, berarti Jaksa Penuntut Umum harus membuktikannya, sedangkan sifat melawan hukum menunjukkan betapa buruk (tercela)-nya perbuatan tersebut dan karenanya dapat dipidana.
o Dalam teori hukum pidana telah kita ketahui bahwa sifat melawan hukum adalah unsur mutlak (menurut Moeljatno), atau unsur umum yang harus selalu ada (Hazewinkel Suringa, Remmelink, dsb penulis Hukum Pidana di Belanda) dalam tindak pidana. Dan dalam perumusan delik unsur melawan hukum dapat merupakan bagian (bestand deel) atau elemen (element) delik.
o Sifat melawan hukum materiel telah diterima sebagai berperan negatif, sehingga menjadi alasan penghapus pidana (alasan pembenar).
o Fungsinya yang positif hanyalah berlaku khusus dalam hukum pidana Indonesia mengingat masih berlakunya hukum adat ( Soepomo, dikuatkan oleh Moelyatno), tetapi itupun terbatas sepanjang tidak ada padanannya dalam KUHP (pasal 5 Undang-Undang No 1 (Drt) 1951)
Dari Uraian di atas terhadap putusan MK.003/PUU-IV/2006 dapat disimpulkan beberapa hal:
- Putusan MK No.003/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli 2006 ini, dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi, sebenarnya tidak mengubah apapun, karena secara substansial tidak mengubah isi UU yang dimohon.
- Walaupun demikian perlu ditegaskan kembali bahwa pemberantasan tindak pidana korupsi tetap saja dibutuhkan ‘komitmen’ semua pihak, negara, pemerintah, penegak hukum, masyarakat, dan semua elemen bangsa.
Ada beberapa dampak keuntungan yang dapat ditarik dari putusan ini:
- Khususnya di bidang hukum pembuktian, Jaksa Penuntut Umum cukup membuktikan unsur melawan hukum ini secara formal.
- Cara yang dapat ditempuh adalah menghadirkan ahli yang dapat menyatakan bahwa terdapat kerugian negara atau perbuatan tersebut dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Berarti bahwa pekerjaan BPK, atau BPKP harus diterima hakim sebagai pembuktian yang tidak boleh diragukan, karena tidak dapat diterima lagi alasan pembenar tidak tertulis lainnya, kecuali yang terdapat dalam KUHP dan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
- Tata cara pembuktian terbalik yang dianut oleh UU PTPK adalah satu-satunya cara yang dapat digunakan oleh tersangka atau terdakwa.