Kebijakan akselerasi pemberantasan korupsi adalah keniscayaan, karena
negara harus segera mewujudkan kesejahteraan rakyat dan melakukan
konvergensi antara daulat rakyat dan daulat hukum secara bersamaan untuk
merealisasi terwujudnya negara hukum yang demokratis.
Kebijakan konstitusionalitas di atas memperoleh relevansinya bila
diletakkan dalam perspektif bangsa dunia dengan adanya konvensi tentang
pemberantasan korupsi, yaitu UNCAC 2003. Konvensi dimaksud adalah upaya
konkret bangsa-bangsa untuk bekerja bersama melawan korupsi yang sudah
bersifat trans-national crime. Konvensi menyatakan, ”Prihatin atas
keseriusan ancaman yang ditimbulkan korupsi karena merusak lembaga dan
nilai demokrasi, etika, dan keadilan, serta mengacaukan pembangunan yang
berkelanjutan dan penegakan hukum.”
Pernyataan dimaksud tepat dan juga sangat tegas, karena tindak
korupsi tidak hanya sudah meluas sehingga bersifat massif, tapi juga
dilakukan dengan secara terstruktur di dalam sendi kehidupan
bermasyarakat dalam sistem governance. Kini, konvensi tersebut sudah
diratifikasi menjadi UU No. 7 Tahun 2006, dan sesuai dengan pernyataan
di atas, konvensi menunjuk pada tiga dampak sekaligus dari korupsi yang
bersifat massif dan terstruktur, yaitu menegasikan proses demokratisasi,
mendekonstruksi pembangunan berkelanjutan, dan mendelegitimasi
penegakan hukum.
Pernyataan dimaksud juga dikonfirmasi oleh Warren (2004: 329), yang
menyatakan ”Corruption violates the rules of democracy and threatens the
inclusiveness of the political community” dan pernyataan dari Wonbin
Cho and Matthew F. Kirwin (2007-2) yang mengemukakan ”Corruption is one
of the most important constraints on economic growth and political
development…”.
Berdasarkan pernyataan di atas, dapatlah dikemukakan bahwa ada relasi
yang kuat antara korupsi, pembangunan berkelanjutan, proses demokrasi,
dan penegakan hukum. Lebih jauh lagi, korupsi menjadi salah satu
penyebab utama proses pemiskinan yang menyebabkan kemiskinan kian
absolut, pelayanan publik yang tidak optimal, infrastruktur yang tidak
memadai, high-cost economy, dan terjadinya eksploitasi sumber daya yang
tidak menimbulkan manfaat bagi kemaslahatan publik. Pada konteks inilah
justifikasi pentingnya kebijakan akselerasi pemberantasan korupsi
memperoleh dasar legitimasinya.
Legitimasi dimaksud potensial mengalami proses dekonstruksi, karena
pemberantasan korupsi disalahpersepsikan dan bahkan disalahartikan.
Pemberantasan korupsi diberitakan dan hanya dilihat dalam perspektif
”kekerasan dan kegaharan”. Wajah pemberantasan korupsi diberitakan dari
sisi dramatiknya, ditonjolkan kehebohannya, dan upaya paksa yang
digunakan yang mendapatkan kesan arogansi dan ”perlawanan” pihak yang
diduga pelaku juga dieksploitasi. Fakta ini tidak hendak menegasikan,
ada indikasi yang cukup kuat, beberapa pihak memang tidak sepenuhnya
menunjukkan komitmen yang kuat dan political action yang tegas untuk
melakukan pemberantasan korupsi.
Upaya pemberantasan korupsi dapat dilihat dan dilakukan dalam
perspektif yang lebih optimistis dengan strategi yang lebih sistemik dan
pendekatan yang konsolidatif dengan mengintegrasikan semua sumber daya
dan modal sosial yang ada secara paripurna. Pada konteks seperti itu,
ada tiga hal penting yang dapat dilakukan, yaitu pertama, penindakan
harus diletakkan secara paralel dengan kebijakan pencegahan; kedua,
peningkatan koordinasi lembaga penegakan hukum antara KPK, kepolisian,
dan kejaksaan serta lembaga terkait lainnya, seperti PPATK, BPKP, dan
lainnya; ketiga, membangun sinergi lembaga pengawasan antara KPK dan
DPR, BPK, inspektorat, dan Bawasda.
Penindakan dan pencegahan harus dilihat sebagai dua sisi dari sebuah
koin. Ada tiga yang dapat dijadikan alasan sebagai argumen untuk
mengintegrasikan tindak represif dengan preventif, yaitu, pertama,
penindakan pelaku kejahatan tanpa disertai upaya sistematis untuk
”membenahi” sistem yang memproduksi kejahatan adalah tindakan yang dapat
bersifat ”karikatif”. Bila sistem yang ada terus-menerus memproduksi
para koruptor, aparat penegak hukum niscaya tidak mampu menangani jumlah
pelaku kejahatan, serta sumber daya yang digunakan akan ”habis” tanpa
bisa menyelesaikan penyebab utama kejahatan yang terus memproduksi
kejahatan. Kedua, penindakan tidak lepas dari kepentingan untuk
mewujudkan tujuan pemidanaan agar menimbulkan deterrent effect.
Penindakan yang tegas dan tepat tidak hanya menimbulkan efek jera, tapi
juga dapat membangun sifat dan efek pencegahan. Ketiga, kendati
penindakan dalam pidana korupsi bersifat premium remedium, ia juga sense
perspektif ultimum remedium. Maksudnya, tindakan lainnya dapat
diterapkan lebih dulu sebelum digunakan upaya penindakan dan penjatuhan
sanksi.
Pada lima tahun terakhir ini, kesan dan tensi rivalitas di antara
lembaga penegakan hukum kian kuat, khususnya di antara KPK, kepolisian,
dan kejaksaan. Di satu sisi, tidak dapat dihindari fakta adanya mafia
hukum di dalam lembaga penegakan hukum yang membuat kepercayaan publik
kepada lembaga penegakan merosot tajam. Hal ini juga membawa dampak pada
hubungan di antara penegak hukum. Di sisi lain, konsolidasi di antara
sumber daya penegakan hukum juga perlu dilakukan. Untuk itu, perlu
dibuat suatu program yang bersifat bridging system and trust building.
Pada program dimaksud dapat dilakukan beberapa hal, yaitu membangun
sistem koordinasi dan supervisi dalam penanganan kasus korupsi di antara
penegak hukum, membangun kerja sama dalam penanganan kasus, serta
memberi fokus pada program kerja bersama. Selain itu, dapat dilakukan
program training bersama antara lembaga penegakan hukum dan instansi
terkait lainnya (BPKP, PPATK, dan BPK) untuk refreshing and advanced
course dengan materi tertentu. Program ini dimaksudkan untuk membangun
kebersamaan, peningkatan kapasitas kompetensi secara bersama, dan
memberikan fokus serta prioritas secara bersama di antara penegak hukum.
Program ini juga dapat dimaksudkan sebagai bagian dari strategi untuk
membangun lembaga penegakan hukum yang mempunyai value, etos, dan sistem
yang sama dengan KPK sehingga dapat terjadi proses “penularan” untuk
menciptakan “the island of integrity and professionalism” di antara
lembaga penegakan hukum.
Yang sangat penting dan acap kali dilupakan adalah membangun strategi
pengawasan bersama di antara DPR, KPK, dan lembaga pengawas lainnya.
KPK mempunyai kewenangan dan kompetensi melakukan pengkajian potensi
koruptif dan kolutif pada lembaga penegakan hukum, lembaga pelayanan
publik, dan berbagai instansi pemerintah. BPK melakukan audit keuangan
dan audit dengan tujuan tertentu pada hampir seluruh lembaga negara dan
pemerintahan termasuk pemerintahan daerah. Kedua hasil pengawasan
tersebut seyogianya digunakan oleh DPR untuk memperkuat dan
mengoptimalkan fungsi pengawasannya. Inspektorat dan Bawasda, yang
merupakan lembaga pengawasan di level pemerintahan, juga dapat menjadi
bagian penting untuk secara bersama melakukan pengawasan bersama BPK,
DPR, dan KPK. Untuk itu, fokus dan prioritas pengawasan pada bidang
tertentu dapat dilakukan bersama, KPK dapat melakukan kajian untuk
menentukan pemetaan potensi korupsi dan kemudian hasilnya dapat
digunakan secara bersama dengan lembaga di atas dan pemerintah untuk
melakukan mainstreaming, focusing, dan synergizing percepatan
pemberantasan korupsi di beberapa bidang strategis.
Upaya pemberantasan korupsi bukanlah sesuatu yang mudah, tetapi juga
harus diyakini dan dihidupkan optimisme bahwa ada cukup banyak cara dan
strategi untuk melakukan pemberantasan korupsi seperti contoh tersebut
di atas. Ada modal sosial yang cukup, serta ada banyak pihak yang punya
keinginan kuat dan bersedia mewakafkan sebagian waktu, pengetahuan, dan
pengalamannya untuk secara bersama melakukan pemberantasan korupsi.
Jika percepatan pemberantasan korupsi dapat dilakukan, hal itu akan
lebih baik karena segera mewujudkan kesejahteraan dan negara hukum yang
demokratis. Bukankah kita harus menggantung cita-cita pada bintang di
langit bahwa korupsi dapat ditaklukkan dengan meminjam kedahsyatan
pidato Soekarno, mantan Presiden RI. Insya Allah, kita bisa melakukannya
dan yakin bisa melakukannya bersama karena bukankah Allah akan selalu
mengabulkan doa dan upaya hambanya sesuai dengan prasangka baik dari
hambanya.
Sumber : http://gagasanhukum.wordpress.com/